ANALISIS TINDAK BAHASA CAMPUR KODE
DI PASAR LABUHAN SUMBAWA
PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK
OLEH
HAS'AD RAHMAN ATTAMIMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari dalam berkomunikasi memegang peranan yang penting dalam
berbagai ranah, seperti pemerintahan, keluarga, agama, etnik, pendidikan dan
sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia merupakan sehari-hari
dalam proses berkomunikasi. Bahasa menjadi media yang digunakan oleh masyarakat
dalam berbagai macam tindah komunikasi. Melalui bahasa, masyarakat atau
seseorang dapat memahami apa yang disampaikan dan apa yang didengar. Melalui
bahasa pula, seseorang dapat saling memahami sebuah tindak komunikasi antar
pengguna bahasa. Demikian pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari
dalam berkomunikasi sehingga perlu dipertahankan eksistensinya dalam berbagai kultur
masyarakat.
Eksistensi penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dalam tindak komunikasi memang perlu
dipertahankan. Namun ada beberapa hal yang harus kita ingat bahwa berdasarkan
aspek linguistik, “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual
(dwibahasa) yang menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa asing” (Nababan, 1989:27). Masyarakat yang dwibahasa akan
mengalami kontak bahasa sehingga melahirkan campur kode. Nababan (1989:28)
memaparkan bahwa “campur kode adalah pencampuran dua (lebih) bahasa atau ragam
bahasa dalam satu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu
yang menuntut percampuran bahasa”. Penguasaan dua bahasa atau lebih dapat
mempermudah seseorang dalam tindak komunikasi, misalnya saja pada objek kajian
yang diambil oleh peneliti tentang tindak bahasa di pasar Labuhan Badas
Kabupaten Sumbawa, yakni tindak bahasa yang dilakukan oleh pedagang dalam
melakukan transaksi atau bernegosiasi dengan pembeli/calon pembeli.
Tindak bahasa yang dilakukan oleh
pedagang dan pembeli sering terjadi campur code/ percampuran dua (lebih)
bahasa. Percampuran tersebut biasa terjadi karena pelaku tindak bahasa
menguasai dua bahasa atau bisa juga dilakukan dengan sengaja kerena belum
menguasai suatu bahasa kemudian mencari padanan kata yang tidak dimengerti
tersebut.
Selain karenan tidak menguasai
bahasa, campur code juga biasa dilakukan untuk mempermudah atau memperlancar
tindak komunikasi yang dilakukan oleh pelaku tindak komunikasi.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti
merumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai beriku;
1. Bagaimana bentuk tindak bahasa Campur Kode di Pasar Labuhan Badas
Kabupaten Sumbawa?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya
tindak bahasa Campur kode di Pasar
Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa?
C.
TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka peneliti memaparkan beberapa tujuan, diantaranya:
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya
tindak bahasa Campur kode di pasar
Labuhan Badas kabupaten Sumbawa;
2. Untuk mendeskripsikan bentuk tindak
bahasa Campur Kode di Pasar Labuhan
Badas Kabupaten Sumbawa.
D.
MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini sebagai berikut;
1. Manfaat Teoritis
Manfaat
teoritis penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat dalam mengembangkan
teori sosiolingustik, khususnya mengenai campur kode dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Manfaat
Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sarana untuk
memahami kultur
bahasa yang beragam dan bentuk
campur kode yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, sebagai masukan
dan pertimbangan dalam penelitian lain yang menggunakan kajian sosiolinguistik.
BAB II
KAJIAN TEORI
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan beberapa teori yang terkait. Teori-teori tersebut meliputi teori
kedwibahasaan, dan campur kode. Semua teori tersebut dipaparkan sebagai
berikut;
A.
Kedwibahasaan
1.
Pengertian Kedwibahasaan
Kedwibahasaan
merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh hampir semua Negara di dunia
termasuk Indonesia. Timbulnya kedwibahasaan di Indonesia disebabkan oleh adanya
berbagai suku bangsa dengan bahasanya masing-masing serta adanya keharusan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan
dengan negara lain yang memiliki bahasa yang berbeda juga merupakan fakta yang
menyebabkan timbulnya kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait dengan
campur kode, karena campur kode merupakan aspek kedwibahasaan. Selain itu,
subjek yang diteliti merupakan masyarakat kedwibahasaan yang cenderung
melakukan campur kode. Berikut pendapat beberapa ahli sehubungan dengan
kedwibahasaan.
Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) mengatakan
memberikan pendapat
mengenai definisi kedwibahasaan yaitu; Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak”. Jadi, kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan. Peristiwa pemakaian dua bahasa (lebih) secara bergantian oleh seorang penutur disebut kedwibahasaan.
mengenai definisi kedwibahasaan yaitu; Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak”. Jadi, kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan. Peristiwa pemakaian dua bahasa (lebih) secara bergantian oleh seorang penutur disebut kedwibahasaan.
Sementara
itu, Sumarsono (2008:195) menyebutkan “kedwibahasaan (bilingualisme) mengacu pada penguasaan H dan L yang ada dalam
masyarakat”. Apabila bahasa adalah milik kelompok, maka kedwibahasaan adalah
milik individu (Baikoeni, 2007). Penggunaan dua bahasa oleh seseorang
seolah-olah menunjukkan, bahwa pada dirinya terdapat dua masyarakat bahasa yang
berbeda. Jadi, ia tidak menunjukkan adanya masyarakat dwibahasawan. Masyarakat
dwibahasawan dapat dipandang sebagai kumpulan individu yang dwibahasawan.
Pengertian
serupa mengenai kedwibahasaan juga dikatakan oleh Jendra dan Fishman. Jendra
(1991:85) memaparkan bahwa “dalam pengertian kedwibahasaan itu seseorang tidak
perlu menguasai bahasa kedau (B-2) itu semahir bahasa pertama (B-1) walaupun
hanya tahu beberapa kata atau kurang begitu fasih”. Sementara itu, Fishman
(dalam Keriana, 2004:14). mengatakan “hal yang paling mendasar dalam
kedwibahasaan adalah kedwibahasaan masyarakat karena merupakan pemakaian dua
bahasa atau lebih oleh masyarakat bahasa”.
2.
Tipologi Kedwibahasaan
Menurut
Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) “tipologi kedwibahasaan didasarkan pada
derajat atau tingkat penguasaan seorang terhadap ketrampilan berbahasa”. Maka
kedwibahasaan menjadi beberapa bagian yaitu:
a) Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan
majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah
satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.
b) Kedwibahasaan Koordinatif (Sejajar)
Kedwibahasaan
koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua
bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
c) Kedwibahasaan Sub-ordinatif (Kompleks)
Kedwibahasaan
sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang
individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya.
d) Kedwibahasaan Awal (Inception Bilingualism)
Kedwibahasaan
awal (inception bilingualism) yaitu
kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses
menguasai B2.
e) Kedwibahasaan Horisontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan
situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki
status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaanmaupun dalam kehidupan
keluarga dari kelompok pemakainya.
f) Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
g) Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi
keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai
oleh masyarakat itu.
h) Kedwibahasaan Produktif (Productive Bilingualism)
Kedwibahasaan
produktif (productive bilingualism)
atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang
individu tyerhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis)
i)
Kedwibahasaan
Reseptif (Reseptive Bilingualism)
Kedwibahasaan
reseptif (reseptive bilingualism)
atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)
3.
Faktor Penyebab Kedwibahasaan
a) Internasionalisasi
Kondisi
kehidupan dunia saat ini termasuk mobilitas buruh melintasi batas-batas
linguistik, memerlukan keterlibatan masyarakat dari latar belakang bahasa yang
berbeda-beda. Kerjasama internasional telah membawa kemajuan bahasa tertentu
khususnya dalam komunikasi bahasa Inggris. Pengajaran bahasa asing di
sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi memberikan kontribusi dalam menciptakan
manusia yang terampil berbahasa bilingual. Bahkan masyarakat dan organisasi
dunia secara aktif mempromosikan pengajaran bahasa untuk komunikasi kerjasama
internasional. Usaha demikian cenderung menghasilkan keterampilan bilingual
individual dan kelompok seperti adanya kelompok tertentu dari berbagai negara
mengadakan pertemuan internasional yang menggunakan bahasa tertentu sebagai
media komunikasi. Kontak bahasa itu menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk dan
rute multilingualisma apakah bersifat peralihan maupun permanen.
b) Promosi Bahasa
Merupakan
kebijakan pemerintah yang mencerminkan tindakan yang perlu dibuat sebagaimana
mestinya. Faktor ini dapat memberikan kontribusi dalam penyebaran
multilingualisma. Tipe yang sangat ekstrem dari kebijakan ini adalah
memperkukuh bahasa resmi dengan cara menekan bahasa daerah.
c) Keanekaragaman Suku/Etnik
Kita
ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan etnik
yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda. Hal ini bias menyebabkan kedwibahasaan.
4.
Pola Kedwibahasaan
Pola-pola
penggunaan bahasa yang muncul dalam komunitas multilingualisma tergantung
kepada beberapa faktor yaitu:
a) Faktor yang memberikan kontribusi
terhadap kontak bahasa di tempat pertama.
b) Kekuatan yang menentukan ke arah
mana bahasa yang terlibat itu sekarang digunakan
c) Fungsi dimana masing-masing bahasa
ditempatkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun individu.
B.
Campur
Kode
1.
Pengertian Campur Code Menurut Para
Ahli
Pembahasan
mengenai campur kode dimulai dari pendapat beberapa ahli. Pendapat beberapa
ahli tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. Kachru (dalam Suwito, 1983:76)
memberikan definisi bahwa “campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau
lebih dengan saling memasukan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang
lain secara konsisten”. Sementara itu, Sumarsono (2002:202-203) menyatakan
bahwa “campur kode terjadi apabila penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain
ketika sedang memakai bahasa tertentu”. Misalnya, ketika berbahasa Indonesia,
seseorang memasukan unsur bahasa sumbawa.
Nababan
(1992) memaparkan pengertian tentang campur kode sebagai pencampuran dua bahasa
atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi yang menuntut
pencampuran itu. Ditambahkan pula, percampuran bahasa tersebut disebabkan oleh
kesantaian atau kebiasaan yang dimiliki oleh pembicara dan biasanya terjadi
dalam situasi informal. Sejalan dengan pendapat Nababan, Jendra (1991)
menyatakan bahwa campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks
pembicaraan tetapi lebih ditentukan oleh pokok pembicaraan pada saat itu.
Campur kode disebabkan oleh kesantaian dan kebiasaan pemakai bahasa dan pada
umumnya terjadi dalam situasi informal. Selanjutnya dikatakan bahwa campur kode
terjadi di bawah tataran klausa dan unsur sisipannya telah menyatu dengan
bahasa yang disisipi. Selanjutnya Jendra (1991:123) menambahkan bahwa
“seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu adanya
kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (Language dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu
bahasa namun, unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda”.
Lebih lanjut Jendra (1991) memberikan ciri-ciri campur kode yaitu sebagai
berikut;
a) Campur kode tidak dituntut oleh
situasi dan konteks pembicaraan seperti dalam gejala alih kode, tetapi
bergantung kepada pembicaraan (fungsi bahasa).
b) Campur kode terjadi karena
kesantaian pembicara dan kebiasaanya dalam pemakaian bahasa.
c) Campur kode pada umumnya terjadi
dalam situasi tidak resmi (informal).
d) Campur kode berciri pada ruang
lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran
yang paling terendah.
e) Unsur bahasa sisipan dalam peristiwa
campur kode tidak lagi mendukung fungsi bahasa secara mandiri tetapi sudah
menyatu dengan bahasa yang sudah disisipi.
Dari
beberapa pendapat dan pandangan para ahli mengenai campur kode dapat
disimpulkan bahwa campur kode merupakan peristiwa penggunaan bahasa atau unsur
bahasa lain ke dalam suatu bahasa atau peristiwa pencampuran bahasa. Peristiwa
campur kode dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada saat melakukan
interaksi. Terjadinya campur kode biasanya disebabkan oleh tidak adanya padanan
kata dalam bahasa yang digunakan untuk menyatakan suatu maksud. Sesuai dengan
kesimpulan di atas, keterkaitan teori campur kode dengan penelitian ini
terletak dalam hal, bahwa penelitian ini mencakup campur kode bahasa Indonesia
ke dalam beberapa bahasa daereah yang terdapat di Indonesia, yang merupakan
bahasa sehari-hari di pasar Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa.
2.
Campur Kode Berdasarkan Macamnya
Berdasarkan
unsur serapan yang menimbulkan terjadinya campu kode itu, campur kode dibagi
menjadi tiga bagian (Jendre, 2001). Bagian-bagian tersebut akan diuraikan di
bawah ini.
a) Campur Kode ke Luar (outer code mixing)
Dalam hal ini, “campur kode keluar
adalah campur kode yang menyerap unsur- unsur bahasa asing” (Jendre, 2001:132).
Misalnya, dalam peristiwa campur kode pada pemakaian bahasa Indonesia terdapat
sisipan dari bahasa asing seperti bahas Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa
Cina, dan lain sebagainya.
b) Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing)
Mengenai definisi tentang campur
kode ke dalam, ada beberapa ahli yang memiliki pandangan yang hampir sama.
Suwito (1983) mengatakan bahwa seorang yang dalam pemakaian bahasa Indonesianya
banyak menyisipkan unsur- unsur bahasa daerah, atau sebaliknya. Maka, penutur
tersebut bercampur kode ke dalam. Sementara itu, Jendre (1991) menyatakan
campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap unsur-unsur bahasa daerah
yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada peristiwa tururan bahasa
Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti bahasa sumabwa,
Lombok, bima, bahasa jawa, dan sebagainya.
c) Campur Kode Campuran
Definisi
mengenai campur kode campuran ialah “campur kode yang di dalam (mungkin klausa
atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa Sumbawa/Lombok/Jawa (bahasa daerah)
dan bahasa asing” (Jendra, 1991:132). Selanjutnya Jendra (1991) lebih tegas
mengatakan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang diterima
oleh bahasa penyerap dengan pembagian menjadi dua bagian seprti (inner dan outer code mixing) telah pula
dilakukan. Misalnya.
3.
Campur Kode Berdasarkan Faktor
Penyebabnya.
Campur
kode tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi
faktor terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sbelumnya telah dibahas
menganai ciri-ciri peristiwa campur kode,yaitu tidak dituntut oleh situasi dan
konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan
fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan
hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut;
a) Faktor peran
Yang
termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta
bicara atau penutur bahasa tersebut.
b) Faktor ragam
Ragam
ditentukan oleh bahasa yang digunakan oeh penutur pada waktu melakukan campur
kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
c) Faktor keinginan untuk menjelaskan
dan menafsirkan
Yang
termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menandai
sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain
terhadapnya.
Jendra
(1991: 134-135) mengatakan bahwa “setiap peristiwa wicara (speech event) yang mungkin terjadi atas beberapa tindak tutur (speech act) akan melibatkan unsur:
pembicara dan pembicara lainnya (penutur dan petutur), media bahasa yang
digunakan, dan tujuan pembicaraan”. Lebih lanjut, Jendra (1991) menjelaskan
bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua bagian pokok,
umpamanya peserta pembicaraan dapat disempitkan menjadi penutur, sedangkan dua
faktor yang lain (factor media bahasa yang digunakan dan faktor tujuan
pembicaraan) dapat disempit lagi menjadi faktor kebahasaan;
a) Faktor Penutur
Pembicara
kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode
antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan dan kesantaian.
b) Faktor Bahasa
Dalam
proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa
lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkannya bahasanya denan
bahasa lain sehingga terjadi campur kode. Umpanya hal itu ditempuh dengan jalan
menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami
dengan istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun Bahasa Asing
sehingga dapat lebih dipahami.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Hal-hal yang erat kaitannnya dengan
metode penelitian, dibahas pada bagian ini. Beberapa hal itu yaitu : (1) pendekataan
penelitian, (2) subyek penelitian, (3) obyek penelitian, (4) metode pengumpulan
data, dan (5) metode analisis data.
A.
Pendekatan Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian ini
dilakukan dengan penelitian deskriptif kualitatif. Rancangan penelitian
deskriptif kualitatif dipilih karena cocok dengan karakteristik masalah
penelitian, yakni Tindak Bahasa Campur
Kode di Pasar Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa yang berlangsung secara
alamiah. Selain itu, rancangan ini akan memberikan gambaran yang jelas,
objektif, sistematis, dan cermat mengenai fakta-fakta aktual dari populasi
tertentu. Rancangan penelitian ini membantu peneliti untuk menggambarkan dan
menjelaskan fenomena Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar Labuhan Badas Kabupaten
Sumbawa.
B.
Subjek Penelitian
Wendra (2007: 32) mengatakan “subjek
penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel melekat, dan yang
dipermasalahkan dalam penelitian. Subjek penelitian mempunyai kedudukan yang
sangat sentral dalam penelitian karena pada subjek penelitian itulah data
tentang variabel yang diteliti berada dan diamati oleh peneliti”. Subjek dalam
penelitian ini adalah pedagang dan pembeli yang melakukan intaraksi/tindak
bahasa di Pasar Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa.
C. Objek Penelitian
C. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah data atau
hal yang diteliti. Dalam hal ini, objek penelitiannya adalah campur kode ke
dalam. Yakni pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur- unsur
bahasa daerah, atau sebaliknya. Seperti campur kode yang terjadi antara
pedagang dan pembeli dalam proses bernegosiasi atau perbincangan biasa yang
merupakan perbincangan selingan ketika terjadi intraksi langsung antara
pedagang dan pembeli
D. Metode Pengumpulan Data
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode
observasi dan wawancara karena objek yang diteliti diperoleh saat interaksi antara
pedagang dan pembeli/calon pembeli berlangsung dan data mengenai campur kode
diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dengan pedagang dan
pembeli/calon pembeli di Pasar Lbuhan Badas.
1. Metode observasi
Menurut
Djojosuroto dkk. (2004:46) “metode observasi digunakan dalam rangka
mengumpulkan data dalam suatu penelitian yang merupakan hasil perbuatan jiwa
secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan
tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis
tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala dengan jalan mengamati dan
mencatat”.Metode ini juga digunakan dalam suatu studi yang disengaja dan
sistematis tentang keadaan / Fenomena sosial dan gejala-gejala dengan
mengamati. Pengamatan ini dapat dibantu dengan catatan dan rekaman. Penggunaan
teknik rekam dalam observasi teknik rekam dalam observasi dimaksudkan untuk
menunjang penggunaan metode observasi itu sendiri. Pencatatan selama proses
observasi tidak dapat dilakukan secara sempurna oleh peneliti, dalam arti
peneliti tidak mampu mencatat semua peristiwa yang berlangsung saat observasi.
Rekaman tersebut dapat digunakan sebagai bahan rujuk silang atas ketepatan
hasil pencatatan. Dalam hal ini, hal-hal yang tidak sempat dicatat selama
pencatatan akan dikonfirmasikan dan disempurnakan melalui hasil rekaman.
Di sisi
lain, pemilihan metode observasi dalam penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan, bahwa metode observasi memiliki beberapa keuntungan yaitu (1)
dengan metode observasi kita memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
kehidupan sosial, (2) metode observasi dapat digunakan untuk melihat dan
mengmati fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dan (3) metode observasi
dapat digunakan sebagai eksplorasi.
2. Metode Wawancara
Dalam
pengumpulan data, peneliti juga menggunakan metode wawancara mengenai campur
kode dalam interaksi langsung pedagang dan pembeli/calon pembeli. “Wawancara
adalah dialog (tanya-jawab) yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh
informasi dari orang yang diwawancarai” (Djojosuroto dkk, 2004:46). Dalam
penelitian ini peneliti memilih wawancara tidak berstuktur. Wawancara tidak
terstuktur adalah wawancara secara bebas, yakni peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara tidak terstuktur ini digunakan agar
memperoleh data atau jawaban dari responden secara mendalam dan sesuai dengan
data yang diharapkan peneliti. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka dalam
penelitian ini peneliti berperan sebagai orang yang memberikan pertanyaan yang
disebut pewawancara, sedangkan informan dalam hal ini adalah guru yang berperan
sebagi orang yang memberi jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.
Wawancara dilakukan terhadap pedagang dan pembeli/calon pembeli padasaat negosiasi(tawar-menawar) berlangsung. Teknik yang digunakan dalam mendukung metode wawancara ini adalah teknik pencatatan. Semua hasil wawancara dicatat pada saat wawancara. Seperti pada metode observasi.
Wawancara dilakukan terhadap pedagang dan pembeli/calon pembeli padasaat negosiasi(tawar-menawar) berlangsung. Teknik yang digunakan dalam mendukung metode wawancara ini adalah teknik pencatatan. Semua hasil wawancara dicatat pada saat wawancara. Seperti pada metode observasi.
E.
Metode Analisis Data
Analisis
data adalah kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai
dengan kriteria yang akan diteliti (Siswantoro, 2004: 48). Metode analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif dipilih karena cocok dengan
karakteristik masalah penelitian, yakni Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa yang
berlangsung secara alamiah. Selain itu, rancangan ini akan memberikan gambaran
yang jelas, objektif, sistematis, dan cermat mengenai fakta-fakta aktual dari
populasi tertentu. Metode analisis data ini membantu peneliti untuk
menggambarkan dan menjelaskan fenomena Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar
Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa.
Dalam
penelitian ini, data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari hasil
observasi dan wawancara, yang berupa catatan. Adapun tahap-tahap analisis data
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Reduksi Data
Menurut
Sugiyono (2006) mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari temanya serta polanya dan membuang
yang tidak perlu. Reduksi data akan membantu peneliti dalam memberikan gambaran
yang lebih jelas, mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data.
2. Deskripsi Data
Setelah
data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah deskripsi data. Kegiatan
deskripsi data diartikan sebagai penampilan sekumpulan informasi yang sudah
disusun secara sistematis, sehingga memungkinkan penarikan suatu simpulan atau
suatu tindakan (Sugiyono, 2006). Dasar pertimbangan pengelompokan data
disesuaikan dengan fokus penelitian. Dalam hal ini fokus penelitian adalah
menemukan gejala campur kode baik bentuk maupun faktor penyebab dilakukan
campur kode. Oleh karena itu, gejala campur kode dan penyebab campur kode
dikelompokan sehingga menjadi lebih jelas.
3. Klasifikasi Data
Klasifikasi
data dilakukan setelah data dari observasi dan wawancara disajikan. Klasifikasi
tahap pertama yang dilakukan dalam klasifikasi data adalah menggolongkan data
yang telah tersusun atau yang sudah dipilih sesuai dengan kategori-kategori
tertentu. Tahap kedua yang di lakukan adalah melakukan pengkodean, yaitu
pemberian kode-kode tertentu untuk menandai data sesai dengan kategori data.
Klasifikasi campur kode yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan
tataran yang dicermati dalam setiap observasi.
4. Penyimpulan
Langkah terakhir dalam ananlisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak diperlukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Dalam penelitian ini proses analisis diberlakukan untuk semua data terkecuali data yang sudah terbuang melalui reduksi data. Penyimpulan yang dilakukan pada saat pengumpulam data mungkin belum jelas, namun setelah data diuji akan diperoleh simpulan yang jelas. Pengujian dapat dilakukan dengan jalan memeriksa data yang sudah terkumpul, melihat catatan, dan mungkin dapat dilakukan melalui tukar pikiran.
Langkah terakhir dalam ananlisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak diperlukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Dalam penelitian ini proses analisis diberlakukan untuk semua data terkecuali data yang sudah terbuang melalui reduksi data. Penyimpulan yang dilakukan pada saat pengumpulam data mungkin belum jelas, namun setelah data diuji akan diperoleh simpulan yang jelas. Pengujian dapat dilakukan dengan jalan memeriksa data yang sudah terkumpul, melihat catatan, dan mungkin dapat dilakukan melalui tukar pikiran.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
kami lakukan, maka didalam pembahasan ini akan dipaparkan secara rinci dan
faktual hasil dari penelitian yang kami lakukan di Pasar Labuhan badas dengan
judul penelitian Analisis Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar labuhan Badas.
Dalam hal ini kami membagi hasil penelitian kami menjadi dua bagian diantaranya:
A. Mendeskripsikan bentuk campur kode
Berdasarkan hasil penelitian kami di pasar labuhan badas
sebanyak 3X observasi, yang kami lakukan pada hari sabtu, minggu dan senin,
maka dalam hal ini kami akan memaparkan secara jelas bentuk campur kode yang
terjadi di pasar labuhan badas antara pedagang dengan pembeli/calon pembeli
yang merupakan bahasa sehari-hari dalam proses komunikasi. Berikut contoh serta
penjelasan tindak bahasa campur kode di pasar labuhan badas:
1. Beikut ini adalah contoh percakapan antara pedangan dan
pembeli, yang dimana pedangan dan pembeli merupakan orang Sumbawa.
Pedagang : No si
beli jangan ke??? ( pedangan menawarkan dagangannya kepada calon pembeli). Ta
balong segar mengkawal ta e!!!
Pembeli : Me
rua jangan sia kadu ibu???
Pedagang : Ma sila mo sia gita…( pedagang mempersilahkan pembeli untuk
melihat ikan yang di jualnya )
Pembeli : Pida beli jangan ta ibu???
Pedagang :
Sepuluh Ribu sekilo bu!!!
Pembeli : No
roa balu ribu sekilo ke??? (pembeli
melakukan penawaran)
Pedagang : Weee no bau ibu, modal dean ibu eee!!!
Pembeli : Nan mo lue bu…
Pedagang : Aida… ta mo, tambah kaleng seribu mo,
siwa ribu mo
Pembeli : Ya mo, aku beli 2 kilo
Percakapan di atas merupakan contoh
tindak bahasa campur kode, yang dilakukan oleh pedagang ikan dan pembeli, yang
dimana pedagang dan pembeli sama-sama menguasai bahasa Sumbawa. Dalam
percakapan di atas berisi kegiatan tawar menawar ikan antara pedagang dan
pembeli, yang dimana pedagang memberi patokan harga ikannya seharga 10 ribu/
kg-nya, kemudian pedagang menawar dengan harga 8 ribu/kg-nya, namun karena
pedagang merasa tidak mendaptkan untung, kemudian pedagang memberikan patokan
harga baru seharga 9 ribu/kg-nya dan pembeli menyetujui harga tersebut, dan
membeli ikan sebanya 2 kg.
2. Contoh tindak bahasa dalam bahasa
jawa antara pedagang dan pembeli/calon pembeli, di pasar Labuhan Badas:
Pembeli : Nangka iki piten bu???
Pedagang : limangewu aja bu…
Pembeli : Bisa kurang bu???
Pedagang : nggak
bisa bu…
Pembeli : Nek telongewu piye??? Aku beli telu…
Pedagang : nggak
bisa bu, limangewu wae…
Percakapan di atas adalah contoh
tindak bahasa campur kode atara pedagang dan calon pembeli yang sama-sama
berasal dari Jawa, dan merupakan pendatang di Sumbawa, percakapan tersebut
berisi kegiatan tawar menawar harga sayur nangka. Harga yang di patokan untuk
sebuah buah nangka seharga 5. 000, namun karena merasa kemahalan ahkirnya calon
pembeli tidak jadi membeli nangkan tersebut.
3. Contoh tindak bahasa dalam bahasa
Sasak antara pedagang dan pembeli/calon pembeli, di pasar Labuhan Badas:
Pedagang : beli kangkung bu….???
Pembeli :
pire seikat ne???
Pedagang :
seribu doing seikat…
Pembeli :
telu dua ribu nde…
Pedagang : ndeq
ta mauq, item bait empat lima ribu…
Pembeli : aoq
wah,
Pedagang : apa
ampoq?
Pwmbwli : tomat
pire?
Pedagang : pitu ribu sekilo…
Pemebli : beli due kilo…
Pedagang : ndeq
da beli cabe?
Pembeli : ndeq…
Percakapan
di atas dilakukan oleh pedagang dan pembeli yang sama-sama berasal dari Lombok,
percakapan tersebut berisi kegiatan tawar menawar kangkung, yang dimana harga
yang di patok untuk setiap ikat kangkung adalah seharga 1000/ikatnya, pembeli
mencoba menawar dengan harga 2000 untuk 3 ikat kangkung, namun pedagang tetap
mempertahankan harga kangkungnya, dan pembeli akhirnya setuju dan kemudian membeli
2 ikat kangkung dan 2 kilo tomat.
B. Jenis dan Penyebab terjadinya tindak
bahasa campur kode di pasar Labuhan Badas
Berdasarkan
hasil penetian yang kami lakukan, ada beberapa factor penyebab terjadinya
tindak bahasa campur kode di Pasar Labuhan Badas, kabupaten Sumbawa yang sesuai
dengan jenis campur kode yang terjadi yakni, jenis campur kode kedalam (Inner Code Mixing), Jendre (1991)
menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap unsur-unsur
bahasa daerah yang sekerabat. Seperti halnya gejala campur kode pada peristiwa
tururan bahasa Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti
bahasa sumabwa, Lombok, bahasa jawa, atau sebaliknya. Kemudian yang menjadi
factor penyebab terjadinya campur kode tersebut adalah, berdarkan simpulan kami
dari beberapa pendapat ahli yang kemudian kami sesuaikan dengan fakta di
lapangan, maka yang menjadi factor penyebab diantaranya:
a) Faktor peran
Yang
termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta
bicara atau penutur bahasa tersebut.
b) Faktor ragam
Ragam
ditentukan oleh bahasa yang digunakan oeh penutur pada waktu melakukan campur
kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
c) Faktor Penutur
Pembicara
kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode
antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan dan kesantaian.
d) Faktor Bahasa
Dalam
proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa
lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkannya bahasanya denan
bahasa lain sehingga terjadi campur kode. Umpanya hal itu ditempuh dengan jalan
menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan
istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun Bahasa Asing sehingga dapat
lebih dipahami.
F. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dipaparkan di atas, maka dapat di ambil kesimpulan, bahwa kegiatan tindak
bahasa campur kode dilakukan oleh masyarakat hampir setiap hari, bahkan dalam
setiap aktifitas dalam kehidupan sehariu-hari, sehingga dapat dikatakan bawha
campur kode tergolong bahasa sehari-hari, selain itu jika dilihat dari factor
penyebab terjadinya campur kode, khususnya di pasar Labuhan Badas yakni ada
beberapa faktor penyabab, diantaranya; 1) Faktor peran, 2) Faktor ragam, 3)
Faktor Penutur, 4) Faktor Bahasa. Kemudian jika dihubungkan dengan ciri-ciri
campur kode yakni; 1) Campur kode terjadi karena kesantaian pembicara dan kebiasaanya
dalam pemakaian bahasa. 2) Campur kode pada umumnya terjadi dalam situasi tidak
resmi (informal). 3)Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat
tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran yang paling terendah. 4) Unsur
bahasa sisipan dalam peristiwa campur kode tidak lagi mendukung fungsi bahasa
secara mandiri tetapi sudah menyatu dengan bahasa yang sudah disisipi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta:Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Hudson,
R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa
dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.
M.S,
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Puspitasari,
Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files.
wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List
Spolsky,
Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press.
Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode
Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana.
Solo: Pustaka Cakra Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar