LAPORAN ILMIAH SOSIOLOGI SASTRA
ANALISIS
NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI
MENGGUNAKAN
PENDEKATAN STRUKTURALISME GENETIK
KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA
Oleh
HAS’AD
RAHMAN ATTAMIMI
NPM :
11. 01. 15. 0205
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS
SAMAWA
2013
A.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sastra tidak hanya
membahas sesuatu yang bersifat imajinatif, namun sastra juga membahas sesuatu
yang bersifat paktual, karena sastra juga secara tidak langsung telah berbaur
di tengah-tengah masyarakat, menjadi sesuatu yang diperhatikan ataupun tidak.
Memberi kontribusi terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat terutama dalam
budaya atau adat-istiadat. Sastra merupakan ilmu yang mampu memberi warna
berupa makna-makna kehidupan dalam bermasyarakat, melalui imajinasi atau
inovasi yang kemudian dibawa kedalam suatu aturan atau adat yang kemudian
membudaya.
Budaya
merupakan sesuatu yang berasal dari sesuatu yang bersifat imajinatif, kemudian
karena aturan-aturan yang ditetapkan membuatnya menjadi sesuatu yang harus
dipelihara atau membudaya, dalam sosiologi sastra salah satu ruanglingkup
penelitiannya adalah sosial budaya, yang dimana suatu budaya kaya akan keadaan
sosial yang patut untuk ditelusuri. Walaupun di zaman seperti sekarang ini,
budaya mulai terlihat samar-samar dimata masyarakat, diakibatkan oleh pengaruh gelobalisasi
yang menjalar begitu cepat. Dahulu sejak kecil seorang anak sudah diperkenalkan
dengan budaya-budaya yang dipercaya, apa lagi budaya tersebut dianggap sesuatu
yang saklar, sudah pasti akan diperkenalkan dan dipelihara. Seperti halnya
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari, budaya yang begitu kental dan dipelihara secara turun temurun,
budaya ronggeng salah satunya, tidak penting budaya itu seperti apa, apakah
mempunyai nilai positif atau miliki pandangnan buruk dari orang luar daerah
dimana lahirnya budaya tersebut. Namun sekarang, jangankan diperkenalkan sejak
kecil, orang-orang yang telah dewasapun sudah jarang bahkan tidak pernah lagi
melihat budaya-budaya yang mereka kagum-kagumi dulu semasa kecil mereka.
Baik
buruknya suatu budaya di suatu daerah harus tetap dipelihara dan dilestarikan,
kerena budaya merupakan ciri khas atau identitas sutu daerah darimana
kebudayaan itu berasal. Seperti dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini misalanya, Budaya Ronggeng merupakan
ciri khas suatu daerah terpencil yang di sebut Dukuh Paruk, walaupun Ronggeng
dipandang sebagai sesuatu budaya yang kurang baik oleh orang-orang di daerah
lain, namun karena itu merupakan ciri khas dan sudah menjadi budaya yang turun
temurun sehingga budaya tersebut dipelihara apa lagi Ronggeng merupakan suatu
budayang saklar di daerah Dukuh Paruk.
Dalam novel Roneggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
ini sangat kental dengan unsur budaya dan nilai sosial, ditambah lagi dengan
aturan adat yang dapat menggugah hati pembaca. Alasan peneliti menganalisis
novel ini adalah tidak lain untuk membawa pembaca untuk mengenal budaya yang
telah ada sejak zaman sebelum zaman PKI berkembang, beberapa alasan lain juga
yang membawa peneliti menganalisis novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya ahmad Tohari ini adalah peroses menjadi seorang penari
ronggeng yang begitu rumit hingga patut untuk diteliti, ditambah lagi dengan
pandangan masyarakat luar daerah Dukuh Paruk yang memandang negatif budaya
Ronggeng di Dukuh Paruk dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas,
peneliti merumuskan beberapa rumusan masalah yang terkait
dengan novel Ronggeng
Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.
1.
Bagaimana unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang
terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari?
2.
Bagaimanakah proses menjadi seorang penari
Ronggeng
dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
3.
Bagaimana pandangan orang luar daerah Dukuh Paruk
terhadap budaya Ronggeng di Dukuh Paruk dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
1.
Untuk mengetahui Unsur interinsik dan unsur ekstrinsik
yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari;
2.
Untuk mendeskripsikan proses seseorang menjadi penari
ronggeng
dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari;
3.
Untuk mengetahui pandangan lain mengenai penari
ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari.
D.
MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat
Teoritis
Secara
teorites, hasil penelitian diharapkan dapat menambah pembendaharaan ilmu
pengetahuan dalam bidang pendidikan dan budaya,
khususnya pada bidang kajian sastra. Serta dapat menjadi referensi bagi
peneliti selanjutnya untuk dapat dikembangkan.
2.
Manfaat
Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa
dijadikan sarana untuk memahami keadaan sosial budaya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta sebagai masukan dan
pertimbangan dalam penelitian karya sastra lain yang dikaji dengan menggunakan
kajian Sosiologi
sastra Sastra.
E.
KAJIAN
TEORI
1. Penjelasan Strukturalisme
Genetik
Menurut Dr. Suwardi
Endraswara, M.Hum (dalam Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra : 5) Sosiologi
sastra adalah ilmu memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra. Faktor
sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra. Sosiologi sastra juga ilmu
tentang interdisiplin, yaitu ilmu yang memperhatikan ihwal fakta estetis dan
fakta kemanusian.
Sastra tidak akan terlepas dari realitas sosial. sastra
merupakan mimesis bagi kehidupan. Lucien Goldmann seorang filsuf sekaligus
sastrawan dan kritikus sastra Rumania-Prancis menerapkan sebuah teori kesusastraan
yang kita kenal dengan teori Strukturalisme Genetik. Strukturalisme genetik
sering disebut juga sebagai strukturalisme historis, yang menganggap karya
sastra khas dianalisis dari segi historis.
Model strukturalisme genetik yang dipakai oleh Goldmann sebagai
metode yang bersifat dialektik dan tidak berkecenderungan tidak positivistik.
Walaupun cenderung marxis, Goldmann tidak mengambil marxis sebagai ideologi,
namun marxis diterapkan sebagai satu cara kerja atau metode. Goldmann
memberikan alternatif pada pendekatan biografi yang dihubungkan dengan karya
sastra menitikberatkan pada pengarang dan kepribadiannya. Titik fokus
pendekatan Goldmann bukan terletak pada teks, tetapi korelasi antara struktur
karya dengan struktur pengarang sebagai anggota masyarakat/kelompok sosial.
Dalam konteks ini, Goldmann terpengaruh oleh George Lukacs bahwa realitas dan
pemikiran merupakan sebuah totalitas dialektikal yang segala sesuatunya
dihubungkan (Susanto, 2012:175). Hal ini berarti bahwa dia berbicara pada
tataran teks itu sendiri. Menurutnya, karya sastra lahir sebagai bagian dari
kesadaran sosial dan tingkah laku yang keduanya itu dihubungkan secara sosial
dan didukung satu dengan yang lain. Hal ini juga berkaitan bahwa seorang
individu tidak mungkin memiliki pandangan dunia sendiri.
Individu pada dasarnya memberikan pandangan dunia suatu
kelompok sosial atau yang sering disebut transindividual subject. Pandangan
dunia bukanlah satu realitas yang positivistik. Pandangan dunia itu diwujudkan
melalui bentuk penciptaan karya sastra yang baik yang mana hal itu diwujudkan
dalam pikiran yang konseptual.
Goldmann mengenalkan konsep struktur mental dan struktur
karya sastra. Dia tidak berpikir pada tataran linguistik, tetapi pada pasangan
ide-ide dan konsep. Dia selanjutnya mengenalkan pandangan dunia atau vision
du monde. Pandangan dunia diekspresikan melalui kelompok sosial yang
termanifestasi dalam bentuk pemikiran, perasaan, tingkah laku yang
diorientasikan kepada satu organisasi hubungan interhumanis dan relasi antara
manusia dan alam. Pandangan dirinya sebagai struktur mental dan struktur itu
oleh Goldmann diberi istilah “koherensi” dalam karya-karya pengarang yang besar
atau filsuf yang mempersentasikan kelompok sosial.
Pendekatan Goldmann dengan menekankan pada pandangan dunia
ini dalam sastra masuk pendekatan ekspresionisme, Struktur mental Goldmann bukanlah struktur
linguistik, tetapi interelasi konsep-konsep. Dalam pandangannya terhadap sastra
sebagai produksi bahasa, Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan sebuah
realita dalam eksisitensinya. Eksistensi realitas karya sastra berada dalam
pandangan dunia dan struktur mentalnya. Pendekatan ini oleh Goldmann disebut
strukturalisme genetik. Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti
disempurnakan menjadi struktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti
apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga
setiap unsur menopang totalitasnya. Oleh karena itu, strukturalisme genetik
menjadi pisau analisa yang berguna untuk karya sastra melihat objek yang
dikajinya itu bukan hanya terdapat di dalam teks, akan tetapi di luar teks yang
mempengaruhi karya sastra menjadi suatu kajian interdisipliner. Khususnya
kajian terhadap aspek sosiologis yang mampu diterapkan oleh seorang Lucien Goldmann
dalam kritik sastranya.
Dalam (Damono 1978), juga dijelaskan sosiologi
sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi
berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana
carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan
menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh
masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses
belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan
menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu
sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara
berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
Sasaran
penelitian yang dipaparkan oleh damono diantaranya:
1.
Konteks Sosial
Pengarang
Konteks
sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
a.
Bagaimana sastrawan
mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau
dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
b.
Profesionalisme dalam
kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu
profesi.
c.
Masyarakat yang dituju
oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat
penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2.
Sastra Sebagai Cermin
Masyarakat
Sastra
sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan
gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan
disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian
adalah.
a.
Sastra mungkin dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri
masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi
pada waktu ia ditulis.
b.
Sifat “lain dari yang
lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya.
c.
Genre sastra sering
merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
masyarakat.
d.
Sastra yang berusaha
menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa
dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya,
karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan
masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk
mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan
apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
3.
Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh
nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
a.
Sudut pandang yang
menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam
pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai
pembaharu dan perombak.
b.
Sudut pandang lain yang
menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini
gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk
melariskan dagangan agar menjadi best seller.
c.
Sudut pandang
kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur
(Damono, 1979: 4).
Dengan
demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah
salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah
hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan
masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam
kajian ini penelti
hanya mengaji mengenai gambaran sosial budaya yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
F.
Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan
oleh peneliti adalah pendekatan Strukturalisme
Genetik,
salah satu metode yang bersifat
dialektik dan tidak berkecenderungan tidak positivistik. Strukturalisme genetik
sering disebut juga sebagai strukturalisme historis, yang menganggap karya
sastra khas dianalisis dari segi historis.
2.
Metode Analisis Data
Analisis
data adalah kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai
dengan criteria yang akan diteliti (Siswantoro, 2004: 48). Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif ini menggambarkan, mendeskriptifkan
data secara kualitatif, yaitu menggunakan kata-kata. Metode deskriptif
digunakan karena data-data penelitian berupa data-data kualitatif dan
menjelaskan secara deskriptif.
Adapun
langkah-langkah yang digunakan dengan menggunakan metode ini adalah sebagai
berikut.
1.
Data yang diperoleh melalui
pembacaan novel dikumpulkan.
2. Data yang terkumpul dijabarkan
secara.
3. Menganalisis data yang diperoleh dan
mengklasifikasikan berdasarkan teori.
4. Menyimpulkan hasil analisis menjadi
temuan penelitian dan saran-saran.
3. Sumber
Penelitian
a. Sumber Sekunder
Subjek
penelitian ini adalah Novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama;
pada tahun 1982 cetakan keempat dengan tebal buku 408 Halaman. Data sekunder ini adalah buku
teori dan buku acuan lain yang digunakan peneliti untuk mendukung jalannya
penelitian, yaitu buku tentang teori Sosiologi sastra, dan sumber-sumber lain yang
mendukung penelitian ini, dengan pendekatan Strukturalisme Genetik.
b. Sumber Primer
Siswantoro
(2004:46-47) menyebutkan bahwa objek penelitian harus ada sebagai tindak ilmiah
yang merupakan gejala atau fenomena yang akan diteliti. Objek penelitian ini
adalah unsur
interinsik dan ekstrinsik novel serta unsur kebudayaan yang terdapat dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad. Lebih lanjut dijelaskan oleh
(Siswantoro, 2004: 55) objek yang digunakan dalam penelitian adalah manusia
baik secara material atau formal. Objek material adalah kenyataan yang
diselidiki atau yang dibahas adalah manusia itu sendiri, dalam arti manusia
yang berada dalam novel bukan manusia dalam arti yang sebenarnya.
Objek
formal yaitu merujuk pada aspek khusus dari objek material yang diteliti yaitu
perilaku, kebudayaan manusia, kehidupan sosial, dan sebagainya. Di dalam
penelitian ini yang menjadi objek formal adalah kebudayaan manusia, dan kehidupan
yang tergambar dalam novel.
4.
Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk
memperoleh data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian (Arikunto, 2006: 160).
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode baca catat dan kepustakaan. Adapun metode yang dilakukan sebagai
berikut:
a. Metode baca catat adalah metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data dengan jalan membaca seluruh isi novel secara
berulang ulang kemudian dicatat untuk mendapatkan data yang akurat.
b. Metode kepustakaan adalah metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara mencari referensi yang
sesuai dengan teori yang digunakan.
G. PEMBAHASAN
SINPOSIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
Dikisahkan seorang penari ronggeng dari Dukuh Paruk bernama Srintil. Dukuh
Paruk adalah sebuah desa terpencil dan miskin. Namun, seluruh warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena
mewarisi kesenian ronggeng yang dapat menggairahkan hidup mereka.
Dalam waktu
singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari ronggeng disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri taklama kemudian dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi penari ronggeng milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil
harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani
upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki
yang mampu memberikan imbalan paling mahal.
Meskipun
Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya.
Srintil telah terlibat dan larut dalam sebuah
tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai srintil tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang
dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan
Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus
ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali
pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka
hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit
atau tentara.
Dengan ketentaraannya
itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang
Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang
berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng
Srintil.
Beberapa hari
singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya.
Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil
dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa
berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian Rasus
tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak
semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu
Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan
keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan
kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi
simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan
tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Perlawanan atau
pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor
Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan
Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata
tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan
mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari
kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari
penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja
dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah
dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat
tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan
PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira
PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan
di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan
tanpa alasan yang jelas.
Pada waktu itu,
orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai
gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang
berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat
jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak
lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu
dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna
rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami
hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.
Hubungan mereka
merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh
orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena
Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai
bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar.
Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum,
tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya
dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya
yang sepi dan miskin.
Akan tetapi,
kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan
kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala.
Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi
kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau
di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan
Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang
sudah-sudah.
Ternyata
penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai
ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang
limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan
mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan,
tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah
melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan
harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat
meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada
polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan
catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang
mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang
ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi
kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama
dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan
pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak
mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.
Srintil bertemu
dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha
mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki
impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek.
Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai
akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
“Malam
telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk.
Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa
mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang beralih memberi kesan hidup pada
rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik
lamanya, dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecilnya manusia di tengah
keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta
cucunya merasa menjadi semut kecil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa
kuasa dan tanpa arti sedikit pun.”
1. Unsur-unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari
a)
Tema
Tema yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini adalah tentang Kebudayaan. Sebuah Budaya Ronggeng yang terdapat disebuah Kampung bernama Dukuh Paruk.
“dua belas tahun sejak
kematian ronggeng Dukuh Paruk yang terahir. Selama itu Dukuh Paruktanpa suara
calung...”
b)
Tokoh dan Penakohan
Tokoh-tokoh dalam novel Ronggeng Tukuh Paruk
karya Ahmad Tohari yang sangat menonjol diantaranya:
1)
Srintil
Serintil adalah seorang anak yatim piatu yang bercita-cita
menjadi ronggeng. Ia pandai
menari, senang dipuji, dan juga cantik.
2)
Rasus
Rasuh adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang
menyukai bahkan mengagumi Srintil, karena menurutnya Srintil mirip
dengan sosok ibunya. Rasus adalah anak yang rajin, dan berbakti kepada orang tua. Setelah dewasapun ia tumbuh menjadi laki-laki yang disiplin terlebih lagi ketia ia meninggalkan Dukuh Paruk untuk
menjadi seorang tentara.
3)
Sakarya, kakek Srintil yang sangat patuh pada aturan adatnya. Sakarya sangat percaya dengan
Ki Sacamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil menjadi seorang
ronggeng di usia muda.
4)
Kartareja, seorang dukun ronggeng
yang licik.
5)
Istri Kartareja juga sama seperti suaminya, licik dan pandai
memikat.
Ada pun
tokoh-tokoh lainnya seperti, Darsun,
Warta, Sakum, Santayib, Istri Santayib, Nenek Rasus, Nyai Sakarya, Siti, Ibu
Siti, dan warga Dukuh Paruk lainnya, juga sang leluhur yang selalu
disebut-sebut warga Dukuh Paruk, dengan
sebutan Ki Secamenggala.
c)
Alur/Plot
Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari ini adalah alur campuran.
“(sakaryadan
kartareja) mengintip srintil menari dibawah pohon nangka. Kedua lelaki tua itu
sengaja membiarkan srintil menari sepuas hatinya diiringi calung mulut oleh
Rasus dan dua kawannya. Kertareja percaya akan cerita Sakarya. Srintil telah
kemasukan indang ronggeng”1
“…santayib
memasukkan bongkrek kedalam mulutnya. Semula isterinya terpana. Tetapi rasa
setia kawan membuatnya segera bertindak. Sambil membobong serintil yang masih
bayi, perempuan itu ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung
menelannya”2
d)
Latar/Seting
1)
Latar Tempat
Latar tempat
yang secara umum adalah di sebuah perkampungan yang bernama Dukuh Puruk.
2)
Latar Waktu
Secara umum latar waktu yang sering tersebut dalam novel Ronggeng Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari
ini adalah sore dan malam hari.
3)
Latar Suasana
“sepasang burung bangau
melayang meneliti angina berputar-putar tinggi dilangit. Tanpa sekalipun
mengepakkan sayap, mereka mengepung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking
seperti keluhan panjang. Air . kedua ungags itu melayang berates-ratus mil
untuk mencari genangan air.”
“ namun
kemarau belum uasai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi dukuh paruk telah
tujuh bulan kerontang. Sepasang burung
bangau itu takkan menmukan air meski hanya selebar telapak kaki.”
Terlihat dari kutipan di atas bagian pertama pada novel sudah menunjukkan
suasana yang mencekam, terbih lagi pada bagian-bagian selanjutnya seperti pada
kutipan;
“Kartareja
menari semakin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Serintil.
Tangan kirinya melingkari pinggang Serintil. Menyusul tangan kanan tiba-tiba
dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Serintil
tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuhh birahi”
e) Sudut Pandang
Sudut
pandang pengarang dalam novel Ronggeng Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari ini adalah
sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Dimana Ahmad Tohari
( pengarang) memasukkan dirinya sebagai tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang
terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel Ronggeng
Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari ini.
2. Unsur Ekstrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk
a) Latar Belakang Pengarang
AHMAD TOHARI
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 64 tahun) adalah sastrawan Indonesia.
Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku
kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970),
Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas
Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi
staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di
Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan
pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya
fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi
Jepang, Jerman Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi
mancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika
Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.
Ronggeng
Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang Penari Ronggeng di dusun kecil yang
bernama Dukuh Paruk, Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karya Ahmad Tohari ini dianggap menyimpang
oleh pemerintah orde baru sehingga Ahmad tohari sempat diintrogasi selama
berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi
Gus Dur sahabatnya, dan akhirnya terbebas dari jerat hukum.
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan
cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices terbitan Honolulu
University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan tidak dimuat dalam
edisi bahasa Indonesia.
Trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer
oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah
dengan judul "Sang Penari" (2011). Tohari memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi
dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana
dalam film-film sebelumnya.
Pada bulan Desember 2011, Ahmad Tohari mengungkapkan
bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan Triloginya menjadi Tetralogi dengan
membuat satu novel lagi.
b) Nilai Sastra yang Terkandung
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruh
1) Nilai Bermasyarakat
(a)
Warga Dukuh Paruk menggantungkan
hidupnya pada alam Dukuh Paruh.
“Orang-orang dewasa tetap bekerja di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya.”
(b)
Warga Dukuh Paruk hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.
“Duk
uh Paruk mulai hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Semua makanan enak sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah
benar-benar kenyang.”
(c)
Warga Dukuh Paruk memiliki kepercayaan yang kuat kepada nenek moyang mereka (Ki
Secamenggala).
“Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu
kejadian ini karena kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi
sesaji. Siapa tahu!”
2) Nilai Sosial
(a)
Di Dukuh Paruk, seorang istri tidak
cemburu melainkan bangga bila suaminya bertayub dengan ronggeng.
“Seorang
ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi
perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub
dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena
diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya
maupun birahinya.”
(b)
Di Dukuh Paruk Seorang
Ronggeng diperlakukan istimewa dibandingkan dengan warga biasa.
“Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. “
(c)
Orang-orang dari luar Dukuh Paruk mempunyai
pandangan buruk terhadap
warga Dukuh Paruk, misalnya :
“Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.”
Atau
“Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir
nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!”
3) Nilai
Religius
(a)
Warga Dukuh Paruk memuja-muja Ki Secamenggala, yang merupakan nenek
moyang mereka.
“Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah
Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan
pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang
Dukuh Paruk berpusat di sana.”
(b)
Sarana penghubung batin dengan nenek
moyang mereka adalah dengan menyanyikan sebuah kidung. Sarana yang
diajarkan oleh nenek moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya
dengan segenap perasaannya.
“Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu
luputing lara
Luputa bilahi
kabeh
Jin setan datan purun...”
(c)
Masyarakat Dukuh Dawuan yang
memiliki nilai religiusitas tinggi.
“Toh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara mereka selalu
menutup diri di samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat
di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba
menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bisa
berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan
perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar.”
4) Nilai Budaya
(a)
Kebudayaan ronggeng di Dukuh Paruk
yang sudah ada sejak lama
“Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir
sebaya ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu
Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu
kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah
perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan
Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali
terdengar semarak di Dukuh Paruk.”
(b)
Kebudayaan Keris
“Mereka mengatakan keris
itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu
keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga
mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus,
dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata
Kartareja”
3. Deskripsi
Data
Deskripsi
adalah suatu bentuk wacana yang berusaha untuk melukiskan atau menggambarkan
dengan kata-kata, wujud atau sifat lahiriah dari suatu obyek. Deskripsi
merupakan salah satu teknik menulis menggunakan detail dengan tujuan membuat
pembaca seakan-akan berada di tempat kejadian, ikut merasakan, mengalami,
melihat dan mendengar mengenai satu peristiwa atau adegan.
a)
Budaya Keris
Kebudayaan
keris mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi
ronggeng. Keris merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat
ditinggalkan,
dipercaya bahwa memakai keris ketika
menari akan membuat tariannya menjadi semakin dahsyat. Ini disebabkan karena keris dianggap mempunyai daya
tarik seksual. Keris
itu mempunyai enerji yang selalu digunakan oleh ronggeng, seperti dalam kutipan:
“(Sakarya dan
Kartareja) mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk
yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para
ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu
sampai ke tanganku. … dengan keris ini aku akan menjadi ronggeng tenar.”
4. Interpretasi
Data
Interpretasi adalah proses memberi arti dan signifikansi terhadap
analisis yang dilakukan, menjelaskan pola-pola deskriptif, mencari hubungan dan
keterkaitan antar deskripsi-deskripsi data yang ada (Barnsley & Ellis,
1992).
a) Budaya Keris
Keris
adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua. Bilahnya
bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara lain
keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya
berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris
parung (keris yang berkeluk sembilan). Dalam masa perang kuna, keris dipakai
sebagai senjata.
Dalam
budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris merupakan
bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria dalam
situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria
berhalangan hadir.
Keris
juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat membuat
pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain, keris
dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.
Kebudayaan keris dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari tidak sepenuhnya sama dengan
kebudayaan keris sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat
dijelaskan. Didalam Novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari, tarian ronggeng
digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat, seperti pada malam upacara Bukak-klambu,
keris diibaratkan sebagai
pengganti pria. Dengan demikian jika
seorang penari ronggeng memakai keris, maka diibaratkan seorang pria
dan wanita penari ronggeng menyatu.
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk,
Dr. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.” http://www.karatonsurakarta.com/keris.html.
Tohari Ahmad.
1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jawa Tengah : Trilogi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar