Kamis, 19 September 2013

LAPORAN ILMIAH SASTRA


LAPORAN ILMIAH SOSIOLOGI SASTRA
ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI
MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURALISME GENETIK
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA


Description: logo unsa
 






Oleh
HAS’AD RAHMAN ATTAMIMI
NPM : 11. 01. 15. 0205

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SAMAWA
2013

A.    PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sastra tidak hanya membahas sesuatu yang bersifat imajinatif, namun sastra juga membahas sesuatu yang bersifat paktual, karena sastra juga secara tidak langsung telah berbaur di tengah-tengah masyarakat, menjadi sesuatu yang diperhatikan ataupun tidak. Memberi kontribusi terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat terutama dalam budaya atau adat-istiadat. Sastra merupakan ilmu yang mampu memberi warna berupa makna-makna kehidupan dalam bermasyarakat, melalui imajinasi atau inovasi yang kemudian dibawa kedalam suatu aturan atau adat yang kemudian membudaya.
Budaya merupakan sesuatu yang berasal dari sesuatu yang bersifat imajinatif, kemudian karena aturan-aturan yang ditetapkan membuatnya menjadi sesuatu yang harus dipelihara atau membudaya, dalam sosiologi sastra salah satu ruanglingkup penelitiannya adalah sosial budaya, yang dimana suatu budaya kaya akan keadaan sosial yang patut untuk ditelusuri. Walaupun di zaman seperti sekarang ini, budaya mulai terlihat samar-samar dimata masyarakat, diakibatkan oleh pengaruh gelobalisasi yang menjalar begitu cepat. Dahulu sejak kecil seorang anak sudah diperkenalkan dengan budaya-budaya yang dipercaya, apa lagi budaya tersebut dianggap sesuatu yang saklar, sudah pasti akan diperkenalkan dan dipelihara. Seperti halnya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, budaya yang begitu kental dan dipelihara secara turun temurun, budaya ronggeng salah satunya, tidak penting budaya itu seperti apa, apakah mempunyai nilai positif atau miliki pandangnan buruk dari orang luar daerah dimana lahirnya budaya tersebut. Namun sekarang, jangankan diperkenalkan sejak kecil, orang-orang yang telah dewasapun sudah jarang bahkan tidak pernah lagi melihat budaya-budaya yang mereka kagum-kagumi dulu semasa kecil mereka.
Baik buruknya suatu budaya di suatu daerah harus tetap dipelihara dan dilestarikan, kerena budaya merupakan ciri khas atau identitas sutu daerah darimana kebudayaan itu berasal. Seperti dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini misalanya, Budaya Ronggeng merupakan ciri khas suatu daerah terpencil yang di sebut Dukuh Paruk, walaupun Ronggeng dipandang sebagai sesuatu budaya yang kurang baik oleh orang-orang di daerah lain, namun karena itu merupakan ciri khas dan sudah menjadi budaya yang turun temurun sehingga budaya tersebut dipelihara apa lagi Ronggeng merupakan suatu budayang saklar di daerah Dukuh Paruk.
Dalam novel Roneggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini sangat kental dengan unsur budaya dan nilai sosial, ditambah lagi dengan aturan adat yang dapat menggugah hati pembaca. Alasan peneliti menganalisis novel ini adalah tidak lain untuk membawa pembaca untuk mengenal budaya yang telah ada sejak zaman sebelum zaman PKI berkembang, beberapa alasan lain juga yang membawa peneliti menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya ahmad Tohari ini adalah peroses menjadi seorang penari ronggeng yang begitu rumit hingga patut untuk diteliti, ditambah lagi dengan pandangan masyarakat luar daerah Dukuh Paruk yang memandang negatif budaya Ronggeng di Dukuh Paruk dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa rumusan masalah yang terkait dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.
1.      Bagaimana unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2.      Bagaimanakah proses menjadi seorang penari Ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari?
3.      Bagaimana pandangan orang luar daerah Dukuh Paruk terhadap budaya Ronggeng di Dukuh Paruk dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari?
C.    TUJUAN PENELITIAN
1.      Untuk mengetahui Unsur interinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari;
2.      Untuk mendeskripsikan proses seseorang menjadi penari ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari;
3.      Untuk mengetahui pandangan lain mengenai penari ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

D.    MANFAAT PENELITIAN
1.      Manfaat Teoritis
            Secara teorites, hasil penelitian diharapkan dapat menambah pembendaharaan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan dan budaya, khususnya pada bidang kajian sastra. Serta dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk dapat dikembangkan.
2.      Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sarana untuk memahami keadaan sosial budaya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta sebagai masukan dan pertimbangan dalam penelitian karya sastra lain yang dikaji dengan menggunakan kajian Sosiologi sastra Sastra.
E.     KAJIAN TEORI
1.      Penjelasan Strukturalisme Genetik
Menurut Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum (dalam Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra : 5) Sosiologi sastra adalah ilmu memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra. Faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra. Sosiologi sastra juga ilmu tentang interdisiplin, yaitu ilmu yang memperhatikan ihwal fakta estetis dan fakta kemanusian.
Sastra tidak akan terlepas dari realitas sosial. sastra merupakan mimesis bagi kehidupan. Lucien Goldmann seorang filsuf sekaligus sastrawan dan kritikus sastra Rumania-Prancis menerapkan sebuah teori kesusastraan yang kita kenal dengan teori Strukturalisme Genetik. Strukturalisme genetik sering disebut juga sebagai strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis.
Model strukturalisme genetik yang dipakai oleh Goldmann sebagai metode yang bersifat dialektik dan tidak berkecenderungan tidak positivistik. Walaupun cenderung marxis, Goldmann tidak mengambil marxis sebagai ideologi, namun marxis diterapkan sebagai satu cara kerja atau metode. Goldmann memberikan alternatif pada pendekatan biografi yang dihubungkan dengan karya sastra menitikberatkan pada pengarang dan kepribadiannya. Titik fokus pendekatan Goldmann bukan terletak pada teks, tetapi korelasi antara struktur karya dengan struktur pengarang sebagai anggota masyarakat/kelompok sosial. Dalam konteks ini, Goldmann terpengaruh oleh George Lukacs bahwa realitas dan pemikiran merupakan sebuah totalitas dialektikal yang segala sesuatunya dihubungkan (Susanto, 2012:175). Hal ini berarti bahwa dia berbicara pada tataran teks itu sendiri. Menurutnya, karya sastra lahir sebagai bagian dari kesadaran sosial dan tingkah laku yang keduanya itu dihubungkan secara sosial dan didukung satu dengan yang lain. Hal ini juga berkaitan bahwa seorang individu tidak mungkin memiliki pandangan dunia sendiri.
Individu pada dasarnya memberikan pandangan dunia suatu kelompok sosial atau yang sering disebut transindividual subject. Pandangan dunia bukanlah satu realitas yang positivistik. Pandangan dunia itu diwujudkan melalui bentuk penciptaan karya sastra yang baik yang mana hal itu diwujudkan dalam pikiran yang konseptual.
Goldmann mengenalkan konsep struktur mental dan struktur karya sastra. Dia tidak berpikir pada tataran linguistik, tetapi pada pasangan ide-ide dan konsep. Dia selanjutnya mengenalkan pandangan dunia atau vision du monde. Pandangan dunia diekspresikan melalui kelompok sosial yang termanifestasi dalam bentuk pemikiran, perasaan, tingkah laku yang diorientasikan kepada satu organisasi hubungan interhumanis dan relasi antara manusia dan alam. Pandangan dirinya sebagai struktur mental dan struktur itu oleh Goldmann diberi istilah “koherensi” dalam karya-karya pengarang yang besar atau filsuf yang mempersentasikan kelompok sosial.
Pendekatan Goldmann dengan menekankan pada pandangan dunia ini dalam sastra masuk pendekatan ekspresionisme,  Struktur mental Goldmann bukanlah struktur linguistik, tetapi interelasi konsep-konsep. Dalam pandangannya terhadap sastra sebagai produksi bahasa, Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan sebuah realita dalam eksisitensinya. Eksistensi realitas karya sastra berada dalam pandangan dunia dan struktur mentalnya. Pendekatan ini oleh Goldmann disebut strukturalisme genetik. Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya. Oleh karena itu, strukturalisme genetik menjadi pisau analisa yang berguna untuk karya sastra melihat objek yang dikajinya itu bukan hanya terdapat di dalam teks, akan tetapi di luar teks yang mempengaruhi karya sastra menjadi suatu kajian interdisipliner. Khususnya kajian terhadap aspek sosiologis yang mampu diterapkan oleh seorang Lucien Goldmann dalam kritik sastranya.
Dalam (Damono 1978), juga dijelaskan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
Sasaran penelitian yang dipaparkan oleh damono diantaranya:
1.      Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
a.       Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
b.      Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
c.       Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2.      Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
a.       Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
b.      Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
c.       Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
d.      Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
3.      Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
a.       Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
b.      Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
c.       Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini penelti hanya mengaji mengenai gambaran sosial budaya yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

F.     Metode Penelitian
1.      Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan  Strukturalisme Genetik, salah satu metode yang bersifat dialektik dan tidak berkecenderungan tidak positivistik. Strukturalisme genetik sering disebut juga sebagai strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis.
2.      Metode Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai dengan criteria yang akan diteliti (Siswantoro, 2004: 48). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif ini menggambarkan, mendeskriptifkan data secara kualitatif, yaitu menggunakan kata-kata. Metode deskriptif digunakan karena data-data penelitian berupa data-data kualitatif dan menjelaskan secara deskriptif.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut. 
1.      Data yang diperoleh melalui pembacaan novel dikumpulkan.
2.      Data yang terkumpul dijabarkan secara.
3.      Menganalisis data yang diperoleh dan mengklasifikasikan berdasarkan teori.
4.      Menyimpulkan hasil analisis menjadi temuan penelitian dan saran-saran. 
3.      Sumber Penelitian
a.       Sumber Sekunder
Subjek penelitian ini adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama; pada tahun 1982 cetakan keempat dengan tebal buku 408 Halaman. Data sekunder ini adalah buku teori dan buku acuan lain yang digunakan peneliti untuk mendukung jalannya penelitian, yaitu buku tentang  teori Sosiologi sastra, dan sumber-sumber lain yang mendukung penelitian ini, dengan pendekatan Strukturalisme Genetik.
b.      Sumber Primer
Siswantoro (2004:46-47) menyebutkan bahwa objek penelitian harus ada sebagai tindak ilmiah yang merupakan gejala atau fenomena yang akan diteliti. Objek penelitian ini adalah unsur interinsik dan ekstrinsik novel serta unsur kebudayaan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad. Lebih lanjut dijelaskan oleh (Siswantoro, 2004: 55) objek yang digunakan dalam penelitian adalah manusia baik secara material atau  formal. Objek material adalah kenyataan yang diselidiki atau yang dibahas adalah manusia itu sendiri, dalam arti manusia yang berada dalam novel bukan manusia dalam arti yang sebenarnya.
Objek formal yaitu merujuk pada aspek khusus dari objek material yang diteliti yaitu perilaku, kebudayaan manusia, kehidupan sosial, dan sebagainya. Di dalam penelitian ini yang menjadi objek formal adalah kebudayaan manusia, dan kehidupan yang tergambar dalam novel.
4.      Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian (Arikunto, 2006: 160). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode baca catat dan kepustakaan. Adapun metode yang dilakukan sebagai berikut:
a. Metode baca catat adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan jalan membaca seluruh isi novel secara berulang ulang kemudian dicatat untuk mendapatkan data yang akurat.
b. Metode kepustakaan adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara mencari referensi yang sesuai dengan teori yang digunakan.
G.    PEMBAHASAN
SINPOSIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
Dikisahkan seorang penari ronggeng dari Dukuh Paruk bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa terpencil dan miskin. Namun, seluruh warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang dapat  menggairahkan hidup mereka.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari ronggeng disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri taklama kemudian dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi penari ronggeng milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.
Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat dan larut dalam sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai srintil tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara.
Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas.
Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.    
Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
“Malam  telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang beralih memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik lamanya, dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecilnya manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kecil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun.”

1.      Unsur-unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari
a)      Tema
Tema yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini adalah tentang Kebudayaan. Sebuah Budaya Ronggeng yang terdapat disebuah Kampung bernama Dukuh Paruk.
“dua belas tahun sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk yang terahir. Selama itu Dukuh Paruktanpa suara calung...”

b)      Tokoh dan Penakohan
Tokoh-tokoh dalam novel Ronggeng Tukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang sangat menonjol diantaranya:
1)      Srintil
Serintil adalah seorang anak yatim piatu yang bercita-cita menjadi ronggeng. Ia pandai menari, senang dipuji, dan juga cantik.
2)      Rasus
Rasuh adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang menyukai bahkan mengagumi Srintil, karena menurutnya Srintil mirip dengan sosok ibunya. Rasus adalah anak yang rajin, dan berbakti kepada orang tua. Setelah dewasapun ia tumbuh menjadi laki-laki yang disiplin terlebih lagi ketia ia meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara.
3)      Sakarya, kakek Srintil yang sangat patuh pada aturan adatnya. Sakarya sangat percaya dengan Ki Sacamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil menjadi seorang ronggeng di usia muda.
4)      Kartareja, seorang dukun ronggeng yang licik.
5)      Istri Kartareja juga sama seperti suaminya, licik dan pandai memikat.
Ada pun tokoh-tokoh lainnya seperti, Darsun, Warta, Sakum, Santayib, Istri Santayib, Nenek Rasus, Nyai Sakarya, Siti, Ibu Siti, dan warga Dukuh Paruk lainnya, juga sang leluhur yang selalu disebut-sebut warga Dukuh Paruk, dengan sebutan Ki Secamenggala.
c)      Alur/Plot
Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini adalah alur campuran.
“(sakaryadan kartareja) mengintip srintil menari dibawah pohon nangka. Kedua lelaki tua itu sengaja membiarkan srintil menari sepuas hatinya diiringi calung mulut oleh Rasus dan dua kawannya. Kertareja percaya akan cerita Sakarya. Srintil telah kemasukan indang ronggeng”1

“…santayib memasukkan bongkrek kedalam mulutnya. Semula isterinya terpana. Tetapi rasa setia kawan membuatnya segera bertindak. Sambil membobong serintil yang masih bayi, perempuan itu ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung menelannya”2


d)     Latar/Seting
1)      Latar Tempat
Latar tempat yang secara umum adalah di sebuah perkampungan yang bernama Dukuh Puruk.
2)      Latar Waktu
Secara umum latar waktu yang sering tersebut dalam novel Ronggeng Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari ini adalah sore dan malam hari.
3)      Latar Suasana
 sepasang burung bangau melayang meneliti angina berputar-putar tinggi dilangit. Tanpa sekalipun mengepakkan sayap, mereka mengepung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air . kedua ungags itu melayang berates-ratus mil untuk mencari genangan air.”

“ namun kemarau belum uasai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi dukuh paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang  burung bangau itu takkan menmukan air meski hanya selebar telapak kaki.”

Terlihat dari kutipan di atas bagian pertama pada novel sudah menunjukkan suasana yang mencekam, terbih lagi pada bagian-bagian selanjutnya seperti pada kutipan;
“Kartareja menari semakin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Serintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Serintil. Menyusul tangan kanan tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Serintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuhh birahi”





e)      Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam novel Ronggeng Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari ini adalah sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Dimana Ahmad Tohari ( pengarang) memasukkan dirinya sebagai tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Puruk karya Ahmad Tohari ini.
2.      Unsur Ekstrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk
a)      Latar Belakang Pengarang
AHMAD TOHARI
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 64 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.
Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang Penari Ronggeng di dusun kecil yang bernama Dukuh Paruk, Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karya Ahmad Tohari ini dianggap menyimpang oleh pemerintah orde baru sehingga Ahmad tohari sempat diintrogasi selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi Gus Dur sahabatnya, dan akhirnya terbebas dari jerat hukum.
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan tidak dimuat dalam edisi bahasa Indonesia.
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul "Sang Penari" (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.
Pada bulan Desember 2011, Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan Triloginya menjadi Tetralogi dengan membuat satu novel lagi.
b)      Nilai Sastra yang Terkandung dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruh
1)       Nilai Bermasyarakat
(a)    Warga Dukuh Paruk menggantungkan hidupnya pada alam Dukuh Paruh.
Orang-orang dewasa tetap bekerja di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya.


(b)   Warga Dukuh Paruk hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Duk                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             uh Paruk mulai hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Semua makanan enak sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah benar-benar        kenyang.

(c)    Warga Dukuh Paruk memiliki kepercayaan yang kuat kepada nenek moyang mereka (Ki Secamenggala).
Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian ini karena kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Siapa tahu!”

2)      Nilai Sosial
(a)    Di Dukuh Paruk, seorang istri tidak cemburu melainkan bangga bila suaminya bertayub dengan ronggeng.
Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.
                                                                         
(b)   Di Dukuh Paruk Seorang Ronggeng diperlakukan istimewa dibandingkan dengan warga biasa.
Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa.

(c)    Orang-orang dari luar Dukuh Paruk mempunyai pandangan  buruk terhadap warga Dukuh Paruk, misalnya :
“Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.”
Atau
“Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!”


3)      Nilai Religius
(a)    Warga Dukuh Paruk memuja-muja Ki Secamenggala, yang merupakan nenek moyang mereka.
Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.

(b)   Sarana penghubung batin dengan nenek moyang mereka adalah dengan menyanyikan sebuah kidung. Sarana yang diajarkan oleh nenek moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya dengan segenap perasaannya.
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputing lara
Luputa bilahi kabeh                                    
 Jin setan datan purun...
(c)    Masyarakat Dukuh Dawuan yang memiliki nilai religiusitas tinggi.
Toh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bisa berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar.

4)      Nilai Budaya
(a)    Kebudayaan ronggeng di Dukuh Paruk yang sudah ada sejak lama
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.

(b)   Kebudayaan Keris
“Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja


3.      Deskripsi Data
Deskripsi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha untuk melukiskan atau menggambarkan dengan kata-kata, wujud atau sifat lahiriah dari suatu obyek. Deskripsi merupakan salah satu teknik menulis menggunakan detail dengan tujuan membuat pembaca seakan-akan berada di tempat kejadian, ikut merasakan, mengalami, melihat dan mendengar mengenai satu peristiwa atau adegan.
a)      Budaya Keris
Kebudayaan keris mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan, dipercaya bahwa memakai keris ketika menari akan membuat tariannya menjadi semakin dahsyat. Ini disebabkan karena keris dianggap mempunyai daya tarik seksual. Keris itu mempunyai enerji yang selalu digunakan oleh ronggeng, seperti dalam kutipan:
“(Sakarya dan Kartareja) mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. … dengan keris ini aku akan menjadi ronggeng tenar.”
4.      Interpretasi Data
Interpretasi adalah proses memberi arti dan signifikansi terhadap analisis yang dilakukan, menjelaskan pola-pola deskriptif, mencari hubungan dan keterkaitan antar deskripsi-deskripsi data yang ada (Barnsley & Ellis, 1992).

a)      Budaya Keris
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua. Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung (keris yang berkeluk sembilan). Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai senjata.
Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria berhalangan hadir.
Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain, keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.
Kebudayaan keris dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Didalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tarian ronggeng digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat, seperti pada malam upacara Bukak-klambu, keris diibaratkan sebagai pengganti pria. Dengan demikian jika seorang penari ronggeng memakai keris, maka diibaratkan seorang pria dan wanita penari ronggeng menyatu.

DAFTAR PUSTAKA
Faruk, Dr. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.”     http://www.karatonsurakarta.com/keris.html.
Tohari Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jawa Tengah : Trilogi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar