BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu tonggak
penting dalam pengembangan ekonomi Syariah di Indonesia adalah beroperasinya
perbankan Syariah yang manakala sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan memungkinkan bagi bank-bank Konvensional menjalankan Dual Banking
System atau Bank Konvensional tersebut dapat mendirikan divisi Syariah.
Dengan adanya
undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka
unit-unit usaha Syariah.Tak heran jika perkembangan perbankan Syariah mulai
pesat di Indonesia. Sebelumnya pada bank maupun unit syariah hanya boleh
melayani calon nasabah di kantor cabang syariah atau kantor cabang pembantu.
Namun sejak Office-Channeling
yang didasari Peraturan Bank Indonesia No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum
Konvensional dan berlaku efektif Mei 2007 pelayanan jasa financing,
seperti pembukuan rekening, setoran, transfer, kliring, dan tarik tunai bisa
dilakukan di cabang bank umum yang memiliki unit Syariah. Bank Islam (Islamic
bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat
Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas bank Islam
selain istilah bank Islam itu sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest-free
bank), bank tanpa riba (lariba bank), dan bank syariah (shari’a
bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis
yuridis penyebutan bank Islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah”, atau
yang secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”. Konsep teoritis
mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan
mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat
disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci
mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar
Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah
(1944-1962) . Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulaipada awal
periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar
ekonomi Islam. Pertumbuhan bank syariah di Indonesia sendiri diawali dengan
dikeluarkannya Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian
disempurnakan oleh Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan peluang yang
lebih luas bagi Bank Syariah untuk menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk
pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang
yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah atau bahkan
mengkonversi diri secara total menjadi Bank Syariah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Deskripsikan
Pengakuan unsur laporan keuangan perusahaan?
2. Klasifikasikan
standar akuntansi keuangan perbankan ?
3. Deskripsikan
karakteristik kualitatif laporan keuangan ?
C.
Tujuan
/ Manfaat
1. Untuk
Mengetahui Pengakuan unsur laporan keuangan perusahaan
2. Untuk
Mengetahui standar akuntansi keuangan perbankan
3. Untuk
Mengetahui karakteristik kualitatif laporan keuangan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengakuan Unsur Laporan Keuangan
merupakan proses pembentukan pos yang memenuhi
definisi unsur serta kriteria pengakuan dalam neraca laporan laba rugi.
Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos tersebut baik dalam kata-kata maupun
dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke dalam neraca laporan laba rugi.
Pos yang memenuhi kriteria tersebut di atas harus diakui dalam neraca laporan laba rugi. Pos yang memenuhi suatu unsur harus diakui jika ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos tersebut akan mengalir dari atau kedalam entitas syariah dan pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur secara handal (KDPPLKS).
Pengakuan unsur utama laporan keuangan berupa pengakuan aset, kewajiban, dana syirka temporer, penghasilan dan beban.
1.
Pengakuan
Aset,
Aset diakui dalam
neraca jika besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi dimasa depan diperoleh
entitas syariah dan aset tersebut memiliki nilai atau biaya yang dapat diukur dengan
handal.
2.
Pengakuan
Kewajiban,
Kewajiban diakui dalam neraca jika
besarkemungkinan bahwa pengeluaran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi
akan dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban sekarangdan jumlah yang harus
diselaikan dapat diukur secara andal.
3.
Pengakuan
Dana Syirkah Temporer,
Pengakuan dana syirakah temporer dalam neraca
hanya dilakukan jika entitas syariah memilki kewajiban untuk mengembalikan dana
yang diterima melalui pengeluaran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi
dan jumlah yang harus diselesaikan dapat diukur secara handal.
4.
Pengukuran
Penghasilan,
Pengukuran penghasilan diakuai dalam laporan
laba rugi jika kenaikan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan
peningkatan aset atau penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur.
5.
Pengakuan
Beban,
Beban diakui dalam laporan laba rugi jika
penurunan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan penurunan aset atau
peningkatan kewajiban telah terjadi dan dapat diakui andal.
B.
Standar Akuntansi Keuangan Perbankan
standar ini adalah untuk mempermudah
perusahaan kecil dan menengah (UKM) (yang jumlahnya hampir dari 90% dari total
perusahaan di Indonesia) dalam menyusun laporan keuangan mereka. Dimana jikalau
standar ini tidak diterbitkan mereka juga harus mengikuti SAK baru (yang
merupakan SAK yang sedang dalam tahap pengadopsian IFRS – konvergensi penuh
tahun 2012) untuk menyusun laporan keuangan mereka. SAK berbasis IFRS ini
relatif lebih kompleks dan sangat mahal bagi perusahaan kecil dan menengah
untuk menerapkannya.
SAK-ETAP mengadopsi sebagian IFRS
(International Financial Reporting Standards) untuk usaha kecil-menengah (IFRS
for Small-Medium-sized Entities/SMEs).
Penetapan ini sehingga berdampak dikenalnya empat pilar akuntansi di Indonesia:
Penetapan ini sehingga berdampak dikenalnya empat pilar akuntansi di Indonesia:
1. Standar Akuntansi Keuangan yang
diadaptasi IFRS
2. SAK-ETAP
3. Standar Akuntansi Syari’ah
4. Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), PP 24 tahun 2005 yang direvisi dalam PP
71 tahun 2010 berbasis akrual
Dalam definisi IFRS Small and Medium
Entyties atau Usaha Kecil Menengah (SMEs) menurut IFRS (International Financial
Reporting Standards) diartikan sebagai:
·Perusahaan kecil dan menengah adalah
perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas publik, dan
·
Menerbitkan
laporan keuangan tujuan umum untuk pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal
termasuk pemilik yang tidak terlibat dalam pengelolaan bisnis, dan potensi yang
ada kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
SAK ETAP ini berlaku secara efektif
untuk penyusunan laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011
namun penerapan dini diperkenankan. Apabila SAK-ETAP ini telah berlaku efektif,
maka perusahaan kecil seperti UKM tidak perlu membuat laporan keuangan dengan
menggunakan PSAK umum yang berlaku. Di dalam beberapa hal SAK ETAP memberikan
banyak kemudahan untuk perusahaan dibandingkan dengan PSAK dengan ketentuan
pelaporan yang lebih kompleks. Perbedaan secara kasat mata dapat dilihat dari
ketebalan SAK-ETAP yang hanya sekitar seratus halaman dengan menyajikan 182
halaman dan 30 bab.
Small and Medium Entyties menurut IFRS for SMEs adalah:
Small and Medium Entyties menurut IFRS for SMEs adalah:
- Perusahaan kecil dan menengah adalah perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas publik, dan
- Menerbitkan laporan keuangan tujuan umum untuk pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal termasuk pemilik yang tidak terlibat dalam pengelolaan bisnis, dan potensi yang ada kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Untuk dokumen SAK ETAP dapat Bapak
Ibu lihat di download disini: SAK ETAP
Dua kriteria yang menentukan apakah
suatu entitas tergolong entitas tanpa akuntabilitas publik (ETAP) yaitu:
1. Tidak memiliki akuntabilitas
publik yang signifikan; dan Suatu entitas dikatakan memiliki akuntabilitas yang
signifikan jika:
·
Entitas
telah mengajukan pernyataan pendaftaran atau entitas dalam proses pengajuan
pernyataan pendaftaran pada otoritas pasar modal (BAPEPAM-LK) atau regulator
lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal. Oleh sebab itu Bapepam
sendiri telah mengeluarkan surat edaran (SE) Bapepam-LK No. SE-06/BL/2010
tentang larangan penggunaan SAK ETAP bagi lembaga pasar modal, termasuk emiten,
perusahaan publik, manajer investasi, sekuritas, asuransi, reksa dana, dan
kontrak investasi kolektif.
·
Entitas
menguasai aset dalam kapasitas sebaga fidusia untuk sekelompok besar
masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan/atau pedagang efek,
dana pensiun, reksa dana, dan bank investasi.
2. Tidak menerbitkan laporan
keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) bagi pengguna
eksternal.
Contoh pengguna eksternal adalah:
- Pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha;
- Kreditur; dan
- Lembaga pemeringkat kredit.
Entitas yang memiliki akuntabilitas
publik signifkan dapat menggunakan SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat
regulasi yang mengizinkan penggunaan SAK ETAP. Contohnya Bank Perkreditan Rakyat
yang telah diijinkan oleh Bank Indonesia menggunakan SAK ETAP mulai 1 Januari
2010 sesuai dengan SE No. 11/37/DKBU tanggal 31 Desember 2009.
SAK-ETAP ini akan berlaku efektif
per 1 January 2011 namun penerapan dini per 1 Januari 2010 diperbolehkan. Entitas
yang laporan keuangannya mematuhi SAK ETAP harus membuat suatu pernyataan
eksplisit dan secara penuh (explicit and unreserved statement) atas kepatuhan
tersebut dalam catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan tidak boleh
menyatakan mematuhi SAK ETAP kecuali jika mematuhi semua persyaratan dalam SAK
ETAP. Apabila perusahaan memakai SAK-ETAP, maka auditor yang akan melakukan
audit di perusahaan tersebut juga akan mengacu kepada SAK-ETAP.
Mengingat kebijakan akuntansi SAK-ETAP di beberapa aspek lebih ringan daripada PSAK, maka terdapat beberapa ketentuan transisi dalam SAK-ETAP yang cukup ketat:
Mengingat kebijakan akuntansi SAK-ETAP di beberapa aspek lebih ringan daripada PSAK, maka terdapat beberapa ketentuan transisi dalam SAK-ETAP yang cukup ketat:
- Pada BAB 29 misalnya disebutkan bahwa pada tahun awal penerapan SAK-ETAP, yakni 1 January 2011
- Entitas yang memenuhi persyaratan untuk menerapkan SAK ETAP dapat menyusun laporan keuangan tidak berdasarkan SAK-ETAP, tetapi berdasarkan PSAK non-ETAP sepanjang diterapkan secara konsisten. Entitas tersebut tidak diperkenankan untuk kemudian menerapkan SAK ETAP ini untuk penyusunan laporan keuangan berikutnya.
- Per 1 January 2011, perusahaan yang memenuhi definisi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik harus memilih apakah akan tetap menyusun laporan keuangan menggunakan PSAK atau beralih menggunakan SAK-ETAP.
- Entitas yang menyusun laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP kemudian tidak memenuhi persyaratan entitas yang boleh menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut tidak diperkenankan untuk menyusun laporan keuangan berdasarkan SAK-ETAP. Hal ini misalnya ada perusahaan menengah yang memutuskan menggunakan SAK-ETAP pada tahun 2011, namun kemudian mendaftar menjadi perusahaan public di tahun berikutnya. Entitas tersebut wajib menyusun laporan keuangan berdasarkan PSAK non-ETAP dan tidak diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP ini kembali.
- Entitas yang sebelumnya menggunakan PSAK non-ETAP dalam menyusun laporan keuangannya dan kemudian memenuhi persyaratan entitas yang dapat menggunakan SAK ETAP, maka entitas tersebut dapat menggunakan SAK ETAP ini dalam menyusun laporan keuangan.
Dengan adanya pembagian standar
akuntansi keuangan (SAK) menjadi SAK ETAP dan SAK Penuh (Perusahaan dengan
akuntabilitas publik), maka dikenal pembagian kelompok perusahaan yaitu entitas
tanpa akuntabilitas publik (ETAP) dan entitas dengan akuntabilitas publik
(EAP).
EAP ini juga mencakup perusahaan go
public di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan ETAP sendiri lebih mengarah (tapi
tidak hanya mencakup) perusahaan dengan skala kecil dan menengah yang
“kesulitan” menerapkan SAK secara menyeluruh.
Adanya pemisahan tersebut disebabkan
oleh konvergensi SAK ke Full IFRS dengan tujuan untuk meminimalkan perbedaan
antara SAK Indonesia dan IFRS sehingga laporan keuangan akan lebih mudah
dipahami dan juga meningkatkan kualitas keterbandingan (comparability) terutama
oleh user dari berbagai negara. Dengan kata lain, memang gap antara SAK
Indonesia dan IFRS masih tetap ada, namun konvergensi ke Full IFRS meminimalkan
gap tersebut sehingga dapat memudahkan pembaca dalam memahami laporan keuangan
tersebut.
Munculnya SAK ETAP sendiri dengan maksud agar konvergensi IFRS dapat segera diwujudkan secara penuh. Sehingga perusahaan-perusahaan yang kesulitan untuk menerapkan SAK Penuh, dapat mengadopsi SAK ETAP sebagai standar keuangan yang lebih sederhana.
Munculnya SAK ETAP sendiri dengan maksud agar konvergensi IFRS dapat segera diwujudkan secara penuh. Sehingga perusahaan-perusahaan yang kesulitan untuk menerapkan SAK Penuh, dapat mengadopsi SAK ETAP sebagai standar keuangan yang lebih sederhana.
C.
Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
karakteristik laporan keuangan dilihat dari segi kualitas berdasarkan Panduan Standar Akuntansi (PSAK)*:
1. Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan
adalah kemudahannya untuk dipahami oleh pemakainya.Pemakai diasumsikan memiliki
pengetahuan yang memadai tentang aktifitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta
kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.Namun demikian,
informasi kompleks yang seharusnya dimasukkan di dalam laporan keuangan tidak
dapat dikeluarkan hanya atas dasar pertimbangan bahwa informasi tersebut
terlalu sulit untuk dapat dipahami oleh pemakai tertentu.
2. Relevan
Agar laporan keuangan bermanfaat, informasi di dalamnya harus
relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan.
Informasi di dalam laporan keuangan memilki kualitas relavan jika dapat
memengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi
peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan, menegaskan, atau mengoreksi
hasil evaluasi mereka dimasa lalu.
Informasi posisi keuangamn dan kinerja dimasa lalu sering kali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja masa depan dan hal-hal lain yag langsug menarik perhatian pemakai, seperti: pembayaran difiden dan upah, pergerakan harga skurietas, dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi komitmennya ketika jatuh tempo.
Informasi posisi keuangamn dan kinerja dimasa lalu sering kali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja masa depan dan hal-hal lain yag langsug menarik perhatian pemakai, seperti: pembayaran difiden dan upah, pergerakan harga skurietas, dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi komitmennya ketika jatuh tempo.
Untuk memiliki nilai pridiktif, informasi tidak perlu harus dalam bentuk ramalan eksplisit.Namun demikian, kemampuan laporan keuangan untuk membuat prediksi dapat ditingkatkan dengan penampilan informasi tentang transaksi dan peristiwa masa lalu.Misalnya, nilai prediktif laporan laba rugi dapat di tingkatkan apabila pos-pos penghasilan atau beban yang tidak biasa, abnormal, dan jarang terjadi di ungkapkan secara terpisah.
3. Materialitas
Relevansi informasi dipengaruhi oleh hakikat dan materialitas
laporan keuangan.Informasi dipandang material apabila kelalaian untuk
mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan
keungan.Materialitas tergantung pada besarnya pos atau kesalahan yang dinilai
sesuai dengan situasi khusus dari kelalaian dalam mencantunkan (omission) atau
kesalahan dalam mencatat (misstament).Oleh karenanya, materialitas lebih
merupakan suatu ambang batas atua titik pemisah dari pada suatu karakteristik
kualitatif pokok yang harus dimiliki agar informasi dipandang berguna.
4. Keandalan
Supaya laporan keuangan bermanfaat, informasi juga harus handal
(reliable).Informasi memilki kualitas yang handal jika bebas dari
pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat dihandalkan
pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation)
dari yang seharusnya disajikan secara wajar diharapkan dapat di sajikan.
5. Penyajian Jujur
Informasi keuangan di laporan keuangan pada umumnya tidak luput
dari resiko penyajian yang dianggap kurang jujur dari pada apa yang seharusnya
digambarkan. Hal tersebut bukan disebabkan karena kesenjangan untuk
menyesatkan, tetapi lebih merupakan kesulitan yang melekat dalam
mengidentifikasikan transaksi serta pristiwa lainnya yang dilaporkan, atau
dalam menyusun atau menerapkan ukuran dan teknik penyajian yang sesuai dengan
makna transaksi dan pristiwa tersebut.
6. Subtansi Mengungguli Bentuk
Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur
transaksi serta pristiwa lain yang seharusnya disajikan, peristiwa tersebut
perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan subtansi dan realitas ekonomi dan
bukan hanya bentuk hukum. Subtansi transaksi atau peristiwa lain tidak selalu
konsisten dengan apa yang tampak dari bentuk hukum.
7. Netralitas
Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, tidak
bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha
untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal
tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan.
8. Pertimbangan Sehat
Penyusunan laporan keuangan adakalanya menghadapi ketidak
pastian suatu peristiwa dan keadaan tertentu, seperti ketertagihan piutang yang
diragukan, perkiraan masa manfaat pabrik serta peralatan, dengan tuntutan atas
jaminan garansi yang mungkin timbul. Namun demikian, penggunaan pertimbangan
sehat tidak memperkenankan, misalnya: pembentukan cadangan tersembunyi atau
penyisihan, berlebihan, dan sengaja menetapkan aktiva atau penghasilan yang
lebih rendah atau pencatatan kewajiban atau beban yang lebih tinggi sehingga
laporan keuangan menjadi tidak netral, dan karena itu tidak memilki kualitas
yang handal.
9. Kelengkapan
Agar dapat
diandalkan,informasi dalam laoran keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengakuan Unsur Laporan Keuangan
merupakan proses pembentukan pos yang memenuhi definisi unsur
serta kriteria pengakuan dalam neraca laporan laba rugi.
Pengakuan unsur utama laporan keuangan berupa pengakuan aset,
kewajiban, dana syirka temporer, penghasilan dan beban.
1.
Pengakuan Aset,
2.
Pengakuan Kewajiban,
3.
Pengakuan Dana Syirkah Temporer,
4.
Pengukuran Penghasilan
5.
Pengakuan Beban,
karakteristik
laporan keuangandilihat dari segi
kualitas berdasarkan Panduan
Standar Akuntansi (PSAK)*:
1.
Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan
adalah kemudahannya untuk dipahami oleh pemakainya.
2. Relevan
Agar laporan keuangan bermanfaat, informasi di dalamnya harus
relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan.
3. Materialitas
Relevansi informasi dipengaruhi oleh hakikat dan materialitas
laporan keuangan.Informasi dipandang material apabila kelalaian untuk
mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan keungan.
4. Keandalan
Supaya laporan keuangan bermanfaat, informasi juga harus handal
(reliable).Informasi memilki kualitas yang handal jika bebas dari
pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat dihandalkan
pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation)
dari yang seharusnya disajikan secara wajar diharapkan dapat di sajikan.
5. Penyajian Jujur
Informasi keuangan di laporan keuangan pada umumnya tidak luput
dari resiko penyajian yang dianggap kurang jujur dari pada apa yang seharusnya
digambarkan. Hal tersebut bukan disebabkan karena kesenjangan untuk
menyesatkan,
6. Subtansi
Mengungguli Bentuk
Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur
transaksi serta pristiwa lain yang seharusnya disajikan, peristiwa tersebut
perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan subtansi dan realitas ekonomi dan
bukan hanya bentuk hukum.
7. Netralitas
Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, tidak
bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu.
8. Pertimbangan
Sehat
Penyusunan laporan keuangan adakalanya menghadapi ketidak
pastian suatu peristiwa dan keadaan tertentu, seperti ketertagihan piutang yang
diragukan,
9. Kelengkapan
Agar dapat
diandalkan,informasi dalam laoran keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya.
B.
Saran
Dengan penerapan PSAK 50 dan 55
secara tepat dan konsisten, laporan keuangan bank dapat disajikan secara lebih
wajar dan memberi informasi yang lebih bermanfaat bagi pembaca laporan
keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Rizal yaya, akuntansi
perbankan syariah,(jakarta salemba empat.2009, hlm 86-94
Hatifudin,
(2004), “Pengaruh Kebijakan Bank Indonesia Terhadap Perkembangan Bank Syariah di Indonesia”, Tesis Master, Yogyakarta:
UII.
http://fauzieyusufhasibuan.wordpress.com/2009/12/12/peranan-lembaga-anjak-piutang-dalam-ekonomi-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar